BOGOR – RADAR BOGOR, Wabah Covid-19 telah memaksa manusia untuk membatasi ruang geraknya dalam menjalani setiap aktivitas kehidupannya. Saat ini kita dituntut untuk terbiasa menjalani pola kehidupan baru.
Bahkan bukan hanya untuk saat ini saja. Pola kehidupan baru ini akan terus berlanjut sekalipun wabah Covid-19 ini selesai. Semuanya akan kembali normal, namun dalam kondisi kenormalan yang serba baru atau new normal.
Kenormalan baru ini akan terus mewarnai kepada semua aspek kehidupan manusia, dari mulai sosial, budaya, politik, ekonomi bahkan sampai pada aspek spiritual dan ibadah keagamaan.
Kita saksikan saat ini, bahkan kita turut ikut merasakan di dalamnya. Yang biasanya kita sholat wajib yang lima waktu di masjid dan sholat jumat berjamaah di masjid.
Di bulan ramadhan kita terbiasa sholat tarawih berjamaah di masjid dan serangkaian ibadah lain yang menyertainya yang dilakukan secara berjamaah.
Melakukan buka puasa bersama dengan keluarga besar, sanak saudara bahkan dengan kawan kerja. Kini harus serba sendiri dan dijalankan secara mandiri di rumah masing-masing.
Majelis Ulama Indonesia dalam fatwa 14/2020 membolehkan muslim yang sehat untuk mengganti shalat Jumat dengan shalat zhuhur di rumah dan meninggalkan shalat lima waktu, shalat tarawih, dan shalat Id di masjid atau tempat umum untuk dilaksanakan di rumah masing-masing jika penyebaran wabah corona atau Covid-19 di daerahnya tidak terkendali.
Fatwa ini kemudian diikuti berbagai kalangan di daerah dengan memperhatikan keadaan wabah setempat. Banyak masyarakat muslim yang memutuskan shalat lima waktu di rumah, termasuk shalat zhuhur sebagai pengganti shalat Jumat, agar penyebaran wabah corona di daerah mereka tidak meluas.
Ini semua dalam rangka memaksimalkan ikhtiar demi menjaga kekhusuan dalam menjalankan serangkaian ibadah tersebut dan terhindar dari kemungkinan tertularnya virus.
Memasuki pekan ketiga Bulan Ramadhan 1441 Hijriyah ini, setiap muslim seyogyanya lebih menyingsingkan lengan baju dan mengencangkan ikat pinggangnya untuk berlomba-lomba meraih pahala sebanyak-banyaknya.
Lebih mengakrabkan diri dengan masjid, termasuk diantaranya adalah untuk mendapatkan keutamaan lailatul qodar. Seakan sudah menjadi doktrin yang kuat bahwa jalan untuk meraih keutamaan lailatul qodar itu hanya dengan beri’tikaf di “masjid saja” dengan menjalankan serangkaian amalan ibadah di dalamnya. Lantas bagaimana dengan kondisi sekarang ini? Di tengah mewabahnya pandemi Covid-19 kita diharuskan menjalankan semua aktivitas hanya di rumah saja atau work from home. Termasuk menjalankan serangkaian ibadah.
Malam lailatul qadar adalah malam yang ketika itu Allah mengaruniakan kemuliaan kepada hambanya yang tulus menempuh berbagai ujian puasa. Yaitu seorang hamba yang telah mempersiapkan diri dengan bekal keimanan dan keikhlasan, sehingga dapat menghiasi malam-malam tersebut dengan serangkaian amal sholeh dalam balutan ketakwaan.
Allah memberkahi malam tersebut. Sehingga malam tersebut bernilai sangat tinggi dan agung di atas malam-malam yang lain, sebagaimana Allah jelaskan dalam firmannya, “sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-quran) pada malam kemuliaan, dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu penuh kesejahteraan, sampai terbit fajar. (Q.S. Al Qodr: 1-5).
Lantas apakah lailatul qadar bisa didapatkan sekalipun hanya beribadah di rumah saja? Para ulama salaf berpendapat bahwa keutamaan lailatul qadar itu akan diperoleh oleh setiap muslim yang diterima amal-amalnya di malam tersebut.
Ibnu Rajab dalam kitabnya Lathaif Al-Ma’arif (hal. 341) membawakan hadits dalam musnad Imam Ahmad, sunan An-Nasai, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Di dalam bulan ramadhan itu terdapat suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa yang tidak mendapati malam tersebut, maka ia akan diharamkan mendapatkan kebaikan.” (HR. An-Nasai, no. 2108. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).
Bahkan sampai musafir (orang yang sedang dalam perjalanan di waktu tersebut) dan wanita haidh pun bisa mendapatkan malam lailatul qadar. Juwaibir pernah mengatakan bahwa dia pernah bertanya pada Adh-Dhahak, “Bagaimana pendapatmu dengan wanita nifas, haidh, musafir, dan orang yang tidur (namun hatinya tidak lalai dalam dzikir), apakah mereka bisa mendapatkan bagian dari lailatul qadar?” Adh-Dhahak pun menjawab, “Iya, mereka tetap bisa mendapatkan bagian. Siapa saja yang Allah terima amalannya, dia akan mendapatkan bagian malam tersebut.” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 341)
Ibnu Rajab rahimahullah menasehatkan, “Wahai saudaraku, yang terpenting bagaimana membuat amalan itu diterima, bukan kita bergantung pada kerja keras kita. Yang menjadi kunci utamanya adalah pada baiknya hati, bukan usaha keras badan.
Betapa banyak orang yang begadang untuk shalat malam, namun tidak mendapatkan rahmat dari Allah. Bahkan mungkin orang yang tidur yang mendapatkan rahmat tersebut. Orang yang tertidur hatinya dalam keadaan hidup karena berdzikir kepada Allah. Sedangkan orang yang begadang shalat malam, hatinya yang malah dalam keadaan fajir (berbuat maksiat pada Allah).” (Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 341).
Adapun yang dimaksudkan dengan menghidupkan lailatul qadar adalah menghidupkan mayoritas malam dengan ibadah dan tidak mesti seluruh malam. Ada ulama yang mengatakan bahwa menghidupkannya bisa hanya sesaat. Sebagaimana dinukil oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm dari sekelompok ulama Madinah dan dinukil pula sampai pada Ibnu ‘Abbas disebutkan, “Menghidupkan lailatul qadar bisa dengan melaksanakan shalat Isya’ berjamaah dan bertekad untuk melaksanakan shalat Shubuh secara berjamaah.”
Dikatakan oleh Imam Malik dalam Al-Muwatha’, Ibnul Musayyib menyatakan, “Siapa yang menghadiri shalat berjama’ah pada malam Lailatul Qadar, maka ia telah mengambil bagian dari menghidupkan malam lailatul qadar tersebut.” Begitu juga dalam perkataan Imam Syafii yang qadim (yang lama) disebutkan, “Siapa yang menghadiri shalat ‘Isya’ dan shalat Shubuh pada malam Lailatul Qadar, maka ia telah mengambil bagian dari malam tersebut.” Semua perkataan di atas diambil dari Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 329.
Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii dan ulama lainnya tersebut sejalan dengan hadits dari ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang menghadiri shalat ‘Isya berjamaah, maka baginya pahala shalat separuh malam. Siapa yang melaksanakan shalat ‘Isya dan Shubuh berjamaah, maka baginya pahala shalat semalam penuh.” (HR. Muslim, no. 656 dan Tirmidzi, no. 221).
Dengan demikian, yang paling penting dari penjelasan tersebut, malam lailatul qadar tidak disyaratkan iktikaf di masjid atau untuk mendapatkannya dengan beribadah di masjid saja.
Orang yang beribadah di rumah pun masih bisa mendapatkan lailatul qadar. Apalagi dalam situasi seperti sekarang ini. Setiap muslim disyariatkan untuk menjalani serangkaian ibadahnya di rumah saja. Termasuk diantara ibadah yang disyariatkan di malam-malam bulan ramadhan, yaitu beriktikaf dalam rangka meraik keutamaan lailatul qadar. Itulah karunia Allah yang wajib kita syukuri.
Perbanyak ibadah di rumah, untuk mendapatkan keutamaan lailatul qadar dan tidak disyaratkan harus begadang semalam suntuk. Wallahu a’lam.
Oleh: Asep Saepudin
• Sekretaris Pusat Kajian Gender-Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Visi Nusantara
• Ketua Bidang Dakwah dan Kajian Keagamaan Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat)