BOGOR-RADAR BOGOR, Meski merupakan salah satu negara terkaya sumber daya air, rupanya Indonesia terancam mengalami krisis air bersih. Prediksi itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Rektor IPB Prof Arif Satria.
Menurut dia, pada tahun 2025, hampir dua per tiga penduduk dunia akan tinggal di daerah-daerah yang mengalami kekurangan air. Hal buruk itu diiringi perubahan iklim yang akan menambah jumlah orang miskin hingga seratus jiwa pada 2030 mendatang.
Harga pangan akan melambung hingga 12 persen, padahal 60 persen pengeluaran orang miskin untuk pangan. Arif menyebut krisis ini, sebagai krisis lingkungan dan sumber daya alam.
“Krisis ini terjadi bukan karena masalah teknis. Tetapi karena krisis tata kelola (governance). Artinya, ada kegagalan mengatur tindakan para aktor atau pihak (negara, swasta dan masyarakat, red) yang berkepentingan terhadap sumber daya alam,” ujar Arif dalam rilis yang diterima Radar Bogor, kemarin (10/1).
Di antara para aktor tersebut kata dia, masyarakat dari kalangan ekonomi bawah yang posisinya paling rentan dan lemah. Tentu saja, mereka menjadi yang paling dirugikan jika terjadi krisis lingkungan. Misal, jika terjadi banjir, orang kaya bisa mengungsi ke hotel. “Padahal yang paling banyak merusak lingkungan bukan mereka (warga miskin,red),” jelasnya.
Ia sekaligus mengutip hasil riset yang disampaikan oleh Forsyth. Menurut Forsyth, orang miskin bukan penyebab kerusakan lingkungan, melainkan orang kaya yang menggunakan sumber daya lebih banyak.
Orang miskin sangat sadar terhadap dampak negatif dari lingkungannya, karena mereka sangat tergantung pada alam untuk hidup. Orang miskin dapat mengelola lingkungan lebih baik jika insentif dan informasi tersedia.
Sayangnya pengetahuan tradisional mereka masih diabaikan. “Padahal bicara tata kelola itu, bicara antara interaksi negara, swasta, dan masyarakat,” Arif mengujar.
Dia menilai, dalam mengelola sumber daya alam, masyarakat perlu didorong secara optimal. Masyarakat harus diajak dalam berkolaborasi. Pasalnya, berdasarkan hasil riset, masyarakat sangat mampu mengelola sumber daya alam.
Arif mencontohkan masyarakat di Lombok Barat yang masih kental dengan sistem sawen. Yaitu, sebuah aturan yang menetapkan kapan orang boleh menebang pohon di hutan, menanam padi, hingga menangkap ikan.
Masyarakat di sana menganggap ada otoritas lokal yang bernama mangku alas (hutan), mangku bumi (sawah), dan mangku laut. Masing-masing mangku ini membangun koordinasi dan kolaborasi dalam pengelolaan masing-masing ekosistem.
Mereka pun yakin, sawen ini bisa menjaga kelestarian sumber daya alam. “Oleh karena itu, untuk tata kelola baru, kita harus menekankan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan masyarakat,” tegasnya.
Rencananya, orasi ilmiah tersebut akan disampaikan langsung oleh Arif, hari ini (11/1) di ruang auditorium Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Kampus IPB Dramaga. Selain dirinya, Dekan FEM IPB Prof R Nunung Nuryartono dan Guru Besar Departemen Biologi, Prof Sri Budiarti akan melakukan orasi ilmiah sesuai dengan bidang kajiannya masing-masing. (mam/*/c)