Tolak UU Cipta Kerja, Segera Ajukan Judicial Review ke MK

Demonstrasi buruh dengan tuntutan menolak Omnibus Law di sekitar gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (25/8/2020). (Dery Ridwansah/JawaPos.com)14

JAKARTA-RADAR BOGOR, Masyarakat yang menolak RUU Cipta Kerja bisa mengajukan judicial review (JR) atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan, problem terbesar UU Cipta Kerja adalah banyaknya muatan atau isi yang ada di dalamnya.

“Berkaitan dengan berbagai macam undang-undang. Sekali lagi, materinya mencakup berbagai undang-undang,” terang Margarito Senin (5/10/2020).

Menurut dia, dari sudut ilmu hukum, nama dan muatannya sudah bermasalah. Sebab, UU Cipta Kerja menggugurkan muatan dalam undang-undang yang lain.

Dalam ilmu hukum, kata Margarito, tidak ada yang mengatur seperti UU Cipta Kerja. Yaitu, satu undang-undang menggugurkan banyak undang-undang yang lain. Seharusnya, jika ingin mengganti UU, harus membuat UU baru yang menjadi penggantinya.

Margarito menambahkan, dari sisi konstitusi, UU Cipta Kerja jelas bermasalah. Sebab, UU yang menggunakan sistem omnibus law itu tidak memberikan kepastian hukum.

Demonstrasi buruh dengan tuntutan menolak Omnibus Law di sekitar gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (25/8/2020). (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

Bisa saja pada saat tertentu menggunakan UU omnibus law dan pada waktu berbeda menggunakan UU yang lain. ’’Kapan-kapan pakai UU yang lain, kapan-kapan pakai UU omnibus,” terangnya.

Dia mendorong masyarakat mengajukan JR ke MK. Serikat pekerja bisa segera mengajukan uji materi ke MK. Ormas seperti Muhammadiyah dan NU juga bisa mengajukan ke MK. Bahkan, pemerintah daerah bisa mengajukan JR karena ada kewenangan perizinan yang diambil pemerintah pusat.

Menurut dia, MK harus mengambil keputusan agar kondisi bangsa tidak semakin kacau. MK harus memastikan apakah UU itu masuk akal dan sudah sesuai dengan konstitusi.

’’Saya berpendapat ini tidak sesuai konstitusi. Kenapa tidak sesuai, karena UU itu ingin menciptakan ketidakpastian hukum,” tegasnya.

Dia menambahkan, ada sejumlah pasal yang dinilai konyol. Misalnya, soal pesangon PHK. Pembayaran pesangon ditanggung perusahaan dan pemerintah.

Hal itu jelas-jelas tidak masuk akal. Bagaimana bisa korporasi yang membuat masalah, tapi pemerintah ikut menanggung masalah tersebut.

Demonstrasi buruh dengan tuntutan menolak Omnibus Law di sekitar gedung DPR/MPR Jakarta, Selasa (25/8/2020). (Dery Ridwansah/JawaPos.com)

Itu sama saja masalah perusahaan dialihkan kepada negara atau masalah perusahaan dialihkan ke rakyat. ’’Perusahaan yang ngacau, rakyat yang tanggung,” tegasnya.

Menurut dia, pemerintah adalah rakyat. Maka, jika pesangon PHK dibebankan juga ke pemerintah, rakyatlah yang ikut menanggung.

Aturan itu jelas sangat jahat. Dia menilai negara sudah menyerah ke korporasi. ’’Lebih jahat, ini jahat, lebih jahat daripada kapitalis. Ini sangat jahat,” ungkapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Baleg DPR Willy Aditya mengatakan, konstitusi adalah yang tertinggi dalam negara hukum. Maka, konstitusionalitas undang-undang dan peraturan apa pun yang berada di bawah konstitusi bisa diuji.

Jika pihak tertentu menilai bahwa sebuah undang-undang bertentangan dengan konstitusi, mereka bisa mengajukan uji materi, baik secara materiil maupun formil. ’’Begitu juga dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang baru saja disetujui DPR bersama pemerintah,” terangnya.

Politikus Partai Nasdem itu mengungkapkan, beberapa substansi UU Cipta Kerja yang sempat menjadi kontroversi di publik sebenarnya sudah diperjuangkan maksimal dalam pembahasan di DPR.

Namun, DPR juga tidak bisa sepenuhnya memaksakan kehendak dalam proses-proses politik yang terjadi. ’’Silakan saja jika kelompok-kelompok yang merasa UU Cipta Kerja ini belum memenuhi harapannya, mereka dapat mengajukan constitutional review atas pengaturan hal tersebut,” tuturnya. (jpg)