Sahkan RUU Ciptaker, MUI Sebut DPR Tidak Seperti Wakil Rakyat

Buruh dari berbagai daerah yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (3/8/2020).

JAKARTA-RADAR BOGOR, DPR telah mengesahkan RUU Cipta Kerja menjadi sebuah UU pada Senin (5/10/2020) dalam Rapat Paripurna DPR RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2020-2021. Hal ini pun menimbulkan kecaman hampir dari seluruh kalangan masyarakat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) salah satunya. Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI Anwar Abbas mengatakan pihaknya sangat kecewa atas perlakuan pemerintah dan DPR yang tega mengesahkan RUU tersebut di tengah pandemi ini.

“Dengan disahkannya RUU Cipta kerja ini maka saya terus terang sangat-sangat kecewa. Karena DPR yang merupakan wakil rakyat lebih banyak mendengar dan membela kepentingan pemilik kapital daripada membela kepentingan rakyat banyak,” ungkap dia dalam keterangan tertulis kepada JawaPos.com, Selasa (6/10/2020).

Dia menuturkan tidak paham lagi apa yang dipikirkan oleh DPR sebagai wakil masyarakat Indonesia yang seharusnya menjadi suara rakyat, namun pada kenyataannya tidak seperti itu.

“Saya tidak tahu mengapa anggota DPR kita sekarang bisa seperti ini. Jadi kesan bahwa dunia perpolitikan kita sekarang sudah dikuasai oleh oligarki politik semakin tampak dengan jelas,” imbuhnya.

“Sehingga tidak ada yang berani menyuarakan suara yang berbeda dari kepentingan pimpinan partainya karena takut oleh pimpinan partainya, mereka itu akan di PAW (pergantian antar-waktu) sehingga akhirnya para anggota DPR tersebut lebih mendengarkan keinginan pimpinan partainya dari pada mendengarkan keinginan rakyatnya,” sambung dia.

Buruh dari berbagai daerah yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menggelar aksi demonstrasi menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja di depan Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (3/8/2020).

Anwar melanjutkan, yang lebih menyedikannya lagi, dengan biaya politik yang sekarang ini sangat mahal, sementara oligarki politik tidak punya uang banyak untuk membiayai kegiatan-kegiatan politik mereka masing-masing. Alhasil mereka pun terpaksa meminta bantuan kepada para pemilik kapital atau sebaliknya.

“Sehingga bak kata orang bijak, bila hal seperti itu yang terjadi, maka yang meminta-minta dan atau yang diberi bantuan tersebut tentu akan bisa di perintah-perintah dan ditawan oleh yang memberi bantuan atau oleh para pemilik kapital tersebut,” ujar dia.

Kata dia, dari sudut pandangnya, hal itu terjadi dalam rapat kemarin. “Saya lihat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini situasi seperti itulah yang sangat-sangat tampak oleh saya, sehingga UU ini benar-benar kelihatan lebih banyak membela kepentingan pemilik modal dan sangat mengabaikan kepentingan rakyat luas,” pungkasnya.

Seperti diketahui, sebelumnya pra-pengesahan RUU, salah satu anggota Fraksi Demokrat, yaitu Irwan Fecho hendak menyuarakan pendapatnya untuk diminta penundaan pengesahan dalam rapat kemarin.

Akan tetapi hal tersebut tidak diterima, khususnya dari Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin dan Ketua DPR Puan Maharani dengan mematikan mikrofon ketika Irwan berbicara.

Tindakan mematikan mikrofon itu tidak hanya sekali, Sekretaris Fraksi Demokrat Marwan Cik Hasan sebelumnya juga merasakan hal yang sama. (jpg)