Jika Resesi, Ini Dampaknya di RI

Ilustrasi pencari kerja.

JAKARTA-RADAR BOGOR, Indonesia diproyeksikan bakal masuk jurang resesi setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meramal pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III masih negatif di kisaran minus 2,9% hingga minus 1%.

Artinya perekonomian Nasional terkontraksi dua kuartal berturut-turut. Pada kuartal II terkontraksi 5,32%.

Sedangkan untuk sepanjang tahun atau full year, perekonomian juga diprediksi akan tetap minus 1,7% hingga minus 0,6%.

Hal ini lantaran kontraksi akibat pandemi Covid-19 masih akan berlanjut di semester II tahun ini.

Masuknya RI pada zona resesi tentunya berdampak bagi perekonomian yang secara tidak langsung juga kepada masyarakat.

Apalagi kasus penyebaran Covid-19 terus naik hingga saat ini.

Ilustrasi pencari kerja.

Beberapa ekonom pun melihat dampak yang terjadi akibat resesi ini sangat signifikan, mulai dari pengangguran yang meningkat karena terjadi PHK massal hingga inflasi yang rendah karena hilangnya daya beli masyarakat.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira mengatakan, dengan masuknya RI ke zona resesi maka sudah dipastikan pengangguran akan bertambah lebih banyak.

Hal ini bukan tanpa sebab, karena saat terjadi resesi artinya perekonomian kembali terkontraksi sehingga kemampuan industri untuk berproduksi masih tertahan akibat pandemi Covid-19 ini.

Apalagi, penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) jilid II dilakukan yang membuat aktivitas perekonomian belum bisa berjalan baik, dan banyak perusahaan yang tak mampu membayar karyawannya sehingga PHK adalah jalan keluar.

Bhima merinci, gelombang PHK pertama terjadi pada waktu PSBB pertama, di mana sektor pariwisata, perhotelan, dan restoran terdampak.

Kemudian, di Gelombang PHK kedua menyapu sektor industri manufaktur dan retail pada pertengahan Juni-Juli 2020.

Ilustrasi pencari kerja.

“Nah gelombang ketiga PHK ini akan merata di hampir semua sektor, termasuk perdagangan, transportasi, dan bisnis properti,” jelas Bhima melansir CNBC Indonesia, Jumat (11/9/2020).

Selain adanya gelombang PHK massal, angka kemiskinan juga bisa naik tajam karena masyarakat rentan miskin sedikit persediaan cash-nya.

Mau di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) pun, kata Bhima masyarakat akan sulit. Karena perkantoran akan tutup, omzet pasti akan menurun.

Menurut Bhima bertambahnya angka pengangguran dan kemiskinan ini harus diantisipasi, agar tidak mengulang kasus 1998.

Bantuan pemerintah sebaiknya langsung dipercepat penyalurannya.

Bhima juga menyarankan, realisasi stimulus macet seperti subsidi bunga dialihkan ke bantuan langsung tunai (BLT) penuh, karena masih banyak pekerja informal belum tersentuh bantuan.

Ilustrasi pencari kerja.

“Program Kartu Pra Kerja itu dibongkar total dirubah BLT untuk pengangguran. Jangan dikasih training dulu, ini situasi mendesak pengangguran harus di beri subsidi juga yang jumlahnya bahkan lebih besar dari subsidi upah pekerja formal,” jelas Bhima.

Kepala Ekonom BCA David Sumual mengatakan, jika terjadi resesi maka daya beli masyarakat masih akan terus rendah.

Sebab, masyarakat tidak memiliki pemasukan untuk melakukan kegiatan konsumsi.

Apalagi, pengangguran akan bertambah karena PHK massal yang terjadi dimana-mana. Jadi, saat resesi yang terjadi bukan inflasi melainkan deflasi.

“Inflasi malah cenderung rendah karena aktivitas ekonomi minim kalau ada PSBB [di Jakarta],” jelas David.

Sejalan dengan David, Bhima juga menilai bahwa di situasi saat ini yang perlu diwaspadai bukan inflasi atau kenaikan harga, melainkan deflasi.

Ilustrasi pencari kerja.

Sebab, dengan deflasi maka bisa dikonfirmasi tidak terjadinya konsumsi oleh masyarakat.

“Jadi deflasi merupakan indikasi adanya demand shock pada perekonomian. Kalau deflasi berlanjut artinya masyarakat menahan belanja atau pendapatan memang turun drastis sehingga uang untuk berbelanja tidak cukup,” jelas Bhima. (cnbc/ran)