RADAR BOGOR, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat “Jasmerah” adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966.
Sejarah bukan sekadar melahirkan ceritera dari kejadian masa lalu sebagai masalah, tapi sejarah mengandung banyak hikmah dan pelajaran bagi kita di masa kini dan masa yang akan datang. Sejarah Perjuangan bangsa yang sangat heroik, sarat dengan nilai-nilai luhur karakter para pahlawan, pejuang dan pendiri bangsa sangat berharga dan bermakna untuk dipelajari dan dijadikan suri tauladan.
Termasuk pula sejarah dan sepak terjang para pengkhianat bangsa, para pelakon yang berfaham sesat dan menyesatkan, yang bertindak kejam, bengis dan haus kekuasaan harus juga dipelajari agar tidak berulang kembali di negeri yang kita cintai ini.
Sejarah sangat penting untuk membangun karater anak bangsa agar siap dan lebih kuat memikul beban untuk bertahan dalam kondisi sulit dan berinteraksi dalam kancah global. Sejarah mengajarkan kepada kita untuk terbebas dari ancaman penjajahan fisik, ekonomi, budaya ataupun penjajahan pemikiran dan pemahaman yang bertentangan dengan Pancasila.
Sungguh aneh, kalau kemudian ada wacana ingin ‘menumpulkan’ mata pelajaran sejarah dalam kurikulum Pendidikan nasional. Dalam materi “Sosialisasi Penyederhanaan Kurikulum dan Asesmen Nasional’ oleh Pusat Kurikulum & Perbukuan Kemendikbud bertanggal 25 Agustus, mata pelajaran Sejarah Indonesia hilang.
Meskipun ini baru draft, lagi-lagi Kemendikbud telah membuat gaduh. Tentu saja banyak fihak yang mempertanyakan, apa benar kemendikbud akan menyederhanakan atau bahkan menghilangkan sejarah dari sekolah-sekolah kita? Apa motif dihilangkannya mata pelajaran Sejarah ini, apakah hanya karena alasan teknis penyederhanaan, atau ada maksud-maksud lain yang terselip?
Inilah yang kemudian ramai diperbincangkan banyak pengamat, aktivis dan pakar Pendidikan. Ikatan Alumni Pendidikan Sejarah UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) berpendapat bahwa reduksi mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadi bagian dari Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada kelas X dan mata pelajaran pilihan kelas XI dan XII SMA serta penghapusan mata pelajaran sejarah pada jenjang SMK dalam draft penyederhanaan kurikulum merupakan kekeliruan cara pandang terhadap tujuan Pendidikan.
Penghilangan mata pelajaran sejarah dengan hanya menjadikan sebagai pilihan berpotensi menghilangkan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Kegaduhan ini melengkapi persoalan issue liberalism, kapitalisme dan komersialisasi Pendidikan yang di ‘frame’ dalam pasal-pasal kluster Pendidikan di RUU Cipta Lapangan Kerja (Omnibus Law).
Lebih gaduh lagi, semuanmya ini dilakukan dalam suasana kecemasan kita menghadapi krisis pandemik covid 19 yang berpotensi mengancam negeri kita.
Dalam hal kebijakan Pendidikan nasional, terlebih lagi masalah Kurikulum, Pemerintah tidak dapat ‘seenaknya’ saja berjalan sendiri. Kurikulum Pendidikan Nasional menentukan arah pembentukan kompetensi dan karakter anak bangsa dan pencapaian tujuan Pendidikan nasional yang diamanahkan UUD 1945.
Kurikulum 2013 yang telah disusun dan digunakan selama ini, memang masih banyak yang perlu disempurnakan, atau disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman. Kita semua mengerti dan sepakat bahwa kurikulum perlu senantiasa disesuaikan mengikuti perkembangan llmu dan teknologi, dinamika dan kompetensi global dan juga desain pembangunan manusia Indonesia ke depan.
Namun hendaknya pengembangan kurikulum didasarkan pada evaluasi dan kajian pada kurikulum sebelumnya sehingga dapat diidentifikasi dengan tepat aspek dan konten yang akan dikembangkan. Dan juga, jangan sampai dalam proses penyederhanaan atau perbaikan kurikulum, kemudian memangkas konten-konten yang prinsip dan substantif.
Oleh karena itu, Pemerintah mesti melibatkan banyak pihak, mendengarkan masukan-masukan para akademisi, pakar, penyelenggara Pendidikan, bahkan para orang tua murid sekalipun.
Tidak patut bila penyusunan Kurikulum, perubahan, penyederhanaan atau apapun namanya dilakukan dengan diam-diam. Harus disampaikan kepada publik, mendapatkan ujian ataupun masukan kritis dari para ahli dan pihak-pihak yang berpengalaman, dan juga perlui disampaikan sejelas-jelasnya kepada DPR RI, khususnya Komisi X yang menjadi mitranya.
Kita semua akan kawal, bahwa seluruh kebijakan Pendidikan Nasional harus berpijak kepada Pancasila dan berorientasi kepada pencapaian amanah UUD 1945, menuju kejayaan Indonesia Emas 2045 !
Fahmy Alaydroes
Anggota DPR RI – Fraksi PKS