AWALNYA dari diskusi yang diselenggarakan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pusat. Temanya: Berkhidmat pada Sains.
Waktu itu Covid-19 baru saja melanda (juga) Indonesia. Banyak orang yang masih abai pada peringatan bahayanya pandemi itu. Termasuk yang menggunakan alasan agama: mati itu di tangan Tuhan.
Penulis terkemuka, AS Laksana, mengomentari panjang diskusi itu. Yang kemudian menjadi polemik hebat yang sangat serius. Yang melibatkan puluhan ahli filsafat. Orang seperti Romo Fransisco Budi Hardiman turun tangan.
Media tempat polemik itu: Facebook. AS Laksana yang memulai. Ia menulis naskah 2.500 kata itu di akun Facebook-nya. Yang kemudian ditanggapi para ahli filsafat itu di situ juga. Inilah untuk kali pertama polemik serius dilakukan di Facebook. Ilmuwan filsafat, pastor Katolik, ustadz, dan guru besar adu argumentasi filsafat di situ.
Tentu Facebook harus berterima kasih pada mereka: citra Facebook tidak lagi hanya untuk para penggosip.
Di antara tokoh filsafat itu muncul satu nama baru. Tidak dikenal di persilatan filsafat. Namanya juga hanya satu kata: Taufiqurrahman. Doktor dari manakah ia?
Saya pun penasaran. Saya ingin tahu siapa Taufiqurrahman itu. Kok tulisannya hebat sekali. Bacaan buku filsafatnya kelas berat semua. Pendapatnya juga bagus. Dan yang lebih menarik: keberanian Taufiqurrahman ‘membantai’ nama-nama besar di polemik itu. Dia habisi orang seperti Goenawan Mohamad dan Ulil Abshar Abdalla.
Akhirnya saya bisa menemukan nomor kontaknya. Nama itu benar-benar ada. Bukan nama samaran. Orangnya ada. Bukan pengecut.
Awalnya saya mendapat indikasi bahwa Taufiqurrahman adalah alumnus satu sekolah terkenal di Perenduan. Di desa yang jauh ini –20 km sebelum kota Sumenep, Madura– memang ada pesantren besar. Itulah pondok ‘Gontor’-nya Madura.
“Saya bukan alumnus Perenduan,” ujar Taufiqurrahman pada saya kemarin sore. “Saya dari Annuqayah,” tambahnya.
Saya tahu juga tahu Annuqayah. Letaknya di desa Guluk-Guluk. Saya beberapa kali ke sana. Lebih jauh lagi dari Perenduan. Lebih masuk lagi ke desa.
Pertama ke sana ketika saya masih wartawan muda untuk majalah TEMPO. Terakhir ke sana ketika saya menjadi sesuatu dulu. Yakni untuk urusan tasawuf Nahsabandiyah Qadiriyah.
Taufiqurrahman adalah lulusan Madrasah Aliyah di situ. Rumahnya sendiri masih 30 km dari Annuqayah.
Pesantren itu diasuh beberapa kiai. Salah satu anak kiai di situ kuliah filsafat di Universitas Gadjah Mada (UGM) Jogjakarta. Lulus UGM kiai muda itu kembali ke Annuqayah. Mengajar di situ.
“Saya kagum pada beliau,” ujar Taufiqurrahman. “Begitu lulus Aliyah saya ingin kuliah filsafat di UGM,” tambahnya.
Ia pun mendapat beasiswa dari UGM –yang lantas dialihkan ke Bidik Misi-nya kementerian pendidikan. Uang dari beasiswa itu sebagian ia gunakan untuk memperdalam bahasa Inggris. Ia ikut kursus-kursus bahasa Inggris di Jogja.
“Saya harus bisa membaca buku-buku filsafat dalam bentuk aslinya yang berbahasa Inggris,” katanya.
Wajar kalau banyak yang penasaran siapa Taufiqurrahman. Ternyata ia baru lulus S-1 Fakultas Filsafat UGM tahun lalu. Ia sudah biasa menulis tapi baru sekali ini terlibat dalam polemik seserius ini.
Apakah kenal secara pribadi dengan tokoh-tokoh yang ia serang itu?
“Tidak,” katanya.
“Pernah bertemu? “
“Tidak.”
“Pernah membaca tulisan mereka? “
“Sering. Saya mengagumi tulisan mereka,” jawabnya.
“Pernah membuka YouTube yang isinya kuliah filsafat Uli Abshar Abdalla tentang Imam Al Ghazali?”
“Pernah. Beberapa kali,” jawabnya.
Nada suara Taufiqurrahman khas orang pondok. Lirih, rendah hati dan sangat sopan. Sama sekali tidak sama dengan tulisannya.
Misalnya saat ia menanggapi tulisan Ulil soal ‘Saintism’.
Tulisan Ulil yang panjang itu ia anggap hanya pamer nama-nama besar tokoh filsafat dunia. “Intinya hanya satu: Ulil tidak suka Saintism. Selebihnya adalah tulisan soal otobiografi intelektual Ulil sendiri,” tulisnya.
“Saya tidak akan mengomentari biografi intelektual Ulil karena itu memang tidak penting untuk polemik ini. Saya hanya ingin menunjukkan satu kekeliruan dan satu kelemahan Ulil. Yakni bahwa ia salah dalam mendefinisikan Saintism,” tulisnya.
Demikian juga ketika membantah premis Goenawan Mohamad (GM). “Dua premis itu mungkin hanya betul di pikirannya GM sendiri,” tulisnya.
GM memang menanggapi tulisan AS Laksana. Panjang lebar. Taufiqurrahman menanggapi GM. Dibalas GM. Dibalas lagi oleh Taufiqurrahman. Sampai empat kali.
AS Laksana sendiri juga memberikan tanggapan. Dibalas juga oleh GM. Disanggah lagi oleh Laksana. Beberapa kali saling menanggapi. Di susul oleh yang lain. Selama dua bulan terakhir.
“Ketika sains menjadi panglima, sains akan terdorong mengedepankan kepastian. Bukan masuk ke dalam proses pencarian kebenaran,” tulis GM di tulisan pertama saat menanggapi AS Laksana.
Taufiqurrahman membantah itu. “Yang membuat sains itu special dan membuatnya layak menjadi sumber utama dalam memahami dunia alamiah adalah prinsip umum dalam komunitas ilmuwan,” tulis Taufiqurrahman. “Itulah yang disebut oleh Lee McIntyre sebagai scientific attitude. Yakni bahwa ilmuwan punya persiapan sikap untuk mengubah teorinya kalau ditemukan bukti dalam empiris bahwa teorinya salah,” tulisnya.
GM tidak mau kalau sains menjadi dogma baru. Taufiqurrahman menganggap GM salah kalau mengatakan sains bisa menjadi dogma baru.
Motivasi AS Laksana menulis soal diskusi IDI itu sendiri memang datang dari sikap GM sejak lama. Yang ia anggap sebagai tokoh yang ‘anti sains’. Laksana sudah mencatatnya itu agak lama. “Tulisan-tulisan GM mencerminkan sikapnya yang anti-sains,” katanya.
Termasuk di acara diskusi IDI itu. Bahkan sebelum diskusi itu sendiri dimulai. Sebagai salah satu pembicara, GM tidak setuju dengan topik yang dibahas hari itu. Yakni ‘Berkhidmat pada Sains’. Atas permintaan GM topik yang ia bawakan harus diganti menjadi ‘Sains dan Beberapa Masalahnya’.
DI’s Way hari ini tentu tidak akan masuk ke materi polemik itu. Tempatnya tidak cukup. Carilah sendiri di Facebook. Sesekalilah buka Facebook bukan untuk mencari siapa selingkuh dengan siapa.
Perdebatan antara filsafat dan sains memang terus hangat. Sampai-sampai ada topik diskusi yang bertema ‘matinya filsafat’.
Bagaimana perasaan Taufiqurrahman setelah polemik ini seru? Tidakkah ia merasa sungkan telah membantai para senior?
“Di filsafat itu biasa. Saya sendiri sering dibantah angkatan junior saya,” ujarnya.
“Asal berdasar argumen. Bukan sentimen,” katanya.
Juga asal jangan berdasar tempat asal –mungkin Anda belum pernah mendengar nama desa Luk-Guluk.
Itulah sebutan untuk Guluk-Guluk bagi orang Madura.(Dahlan Iskan)