BOGOR – RADAR BOGOR, Lima bulan sudah sekolah tidak menyelenggarakan pembelajaran tatap muka langsung di dalam kelas. Selama itu pula yang membuat siswa kini merasakan rindu untuk segera berseragam lengkap dan berangkat ke sekolah.
Memang tidak dipungkiri, keadaan ini melahirkan kejenuhan bagi para siswa, guru bahkan orang tua murid. Semua rindu suasana sekolah yang riang gembira, penuh kehangatan dengan canda ria dan gelak tawa penghuninya.
Namun apalah daya, wabah Pandemi Covid-19 memaksa kita semua untuk dapat bersabar dan menahan diri sampai keadaan benar-benar dinyatakan aman untuk warga sekolah.
Pemerintah memang ditekankan untuk seserius mungkin menjaga dan melindungi anak dari wabah ini. Salah satunya dengan tidak terburu-buru membuka sekolah sekalipun sudah dinyatakan dalam situasi zona hijau.
Hal itu ditegaskan oleh Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait. Menurut Arist, sekolah jangan sampai dibuka kembali sampai negara ini bisa menjamin vaksin untuk anak-anak sekolah.
“Sekolah jangan dibuka dulu jika, pertama, vaksin belum tersedia. Kedua, pemerintah belum bisa menjamin masyarakat mematuhi protokol kesehatan,” tegasnya kepada JawaPos.com, Rabu (22/7).
“Sebelum ada itu, sekolah jangan dibuka dulu. Jangan korbankan anak-anak. Satu saja anak sekolah meninggal karena Covid-19, hancur bangsa ini,” tukasnya.
Jadi status daerah yang sudah dinyatakan zona hijau pun bukan sebuah jaminan keamanan anak-anak akan terbebas dari serangan virus ini.
Maka satu siswa saja yang terpapar Covid-19 di sekolah, hal ini hal ini akan mengancam eksistensi sekolah sebagai salah satu lembaga yang melindungi dan menaungi anak-anak.
Karena memang, selama ini masyarakat tidak pernah tahu bagaimana kriteria dan indikator yang ditentukan pemerintah dalam menetapkan status hijau, kuning, orange atau merah.
Demi kesehatan dan upaya perlindungan anak, diharapkan sekolah untuk tidak dibuka dulu. Sehingga masyarakat diharapkan untuk lebih sabar lagi sampai keadaan benar-benar aman untuk anak-anaknya.
Kurun waktu lima bulan bukanlah waktu yang sebentar dan entah berapa lama lagi kebijakan belajar di rumah akan diperpanjang. Orang tua yang menjadi “guru dadakan” tidak sedikit yang uring-uringan, pulsa pun membengkak padahal penghasilan berkurang.
Ya, bagaimana tidak, kebijakan belajar di rumah dengan teknologi di satu sisi memudahkan bagi yang memadai fasilitasnya, di sisi lain sangat menyulitkan karena ridak semua orang terjangkau dan memiliki fasilitas tersebut.
Bagi guru, hal ini menjadi tantangan tersendiri, jika belajar di sekolah tentu akan lebih mudah dalam menyiapkan perangkat pembelajarannya. Namun dengan kebijakan belajar di rumah, disamping menuntuk kreativitas, juga harus terpenuhi fasilitas teknologi pendukungnya.
Jangankan daerah yang belum terjamah fasilitas internet, di daerah perkotaan pun boleh jadi sebagian guru belum mahir cara pengaplikasiannya.
Karena tidak semua guru mahir teknologi. Bisa dipastikan, secara teknologi sebagian besar wilayah Indonesia belum siap untuk melakukan pembelajaran secara daring. Bahkan di kota-kota besar sekalipun masih kesulitan.
Apalagi di daerah-daerah terpencil, peloksok pedalaman dan daerah-daerah terluar liannya yang masih belum akrab dengan penetrasi internet. Maka, di sinilah tugas pemerintah dan para pengambil kebijakan dituntut untuk mencari solusi terbaik. Agar jangan sampai kondisi ini menjadi penyumbang angkatan yang putus sekolah.
Inovasi konkrit dari pemerintah sangatlah penting dalam merancang skema pembelajaran. Perlu adanya pendekatan secara sosial budaya yang memerhatikan kultur dan ciri khas lokal dari masing-masing daerah. Maka dengan demikian, tidak bisa kebijakan hanya berbasis data di pusat perkotaan saja. Karena sebagian besar daerah di Indonesia masih jauh dari status daerah layak internet.
Banyak yang kita rindukan dari sekolah, diantaranya papan tulis, meja dan bangku sekolah, kertas ulangan, kantin dan tempat jajanan. Kegiatan belajar di sekolah tentu tidak lengkap tanpa kehadiran papan tulis di depan kelas.
Di sana tempat guru menuangkan ilmunya dan memberikan penjelasan kepada siswanya. Di samping itu, terkadang siswa menuangkan daya kreatif dan keisengannya corat-coret di papan tulis.
Begitu juga dengan meja dan bangku di ruang kelas yang mulai berdebu, berjamur dan bahkan tidak sedikit yang lapuk jadi santapan rayap. Selain sebagai tempat duduk dan menulis, keberadaan meja dan bangku juga menjadi tempat yang nyaman bagi siswa untuk tidur di kelas. Iya, kan?
Berbicara kertas ujian, terkadang menjadi momok tersendiri bagi sebagian siswa. Ada siswa yang tegang sampai gemetaran tatkala kertas soal dibagikan.
Apalagi sikap dan ketegasan guru menjadi lebih ketat ketika ujian belangsung. Tapi mungkin bagi siswa yang abai terhadap hasil ujian, ya biasa-biasa saja. Mau dapat nilai besar atau kecil tidak jadi masalah. Bahkan kertas hasil ujiannya pun tidak disimpan, malah jadi bahan mainan di ruang kelas.
Siapa yang tidak rindu dengan kantin dan tempat jajanan di sekolah? Jangankan siswa, guru-gurnya pun terkadan suka berbaur dengan siswa sekedar ngobrol-ngobrol sambil menikmati aneka jajanan khas kesukaan anak-anak sekolah.
Kini suasana tersebut tidak lagi dirasakan. Semoga wabah ini segera berlalu dan kita semua bisa bercandaria lagi di sekolah.
Ada hal penting yang tidak dapat diwakilkan oleh kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi berikut dengan berbagai fasilitasnya.
Fasilitas internet mungkin bisa menjawab apa yang kita cari untuk sekedar transfer ilmu. Namun kehadiran guru sangat penting dalam membentuk karakter dan kepribadian siswa. Dengan demikian, sangat penting bagi orang tua memilihkan tempat belajar dengan guru terbaik untuk anak-anaknya. Tetap smangat dan bersabar belajar di rumah. (*)
Asep Saepudin
(Sekretaris Pusat Kajian Gender, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Visi Nusantara Maju)