BOGOR – RADAR BOGOR, Di awal kemunculan Covid 19 empat bulan yang lalu, kondisi seluruh dunia dipastikan sedang tidak sehat dan tidak stabil, segala bentuk aktivitas manusia terhenti dan tersendat secara tiba-tiba, hampir semua industri di stop untuk sementara waktu, tidak ada produksi, sebagian karyawan dan buruh di beberapa perusahaan industri dan perkantoran diberhentikan untuk sesaat bahkan ada juga yang diberlakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara permanen.
Aktivitas ritual ibadah yang sifatnya berkerumun dan kolektif (berjamaah) dihimbau dikurangi untuk sementara waktu, kegiatan belajar mengajar siswa, dan perkuliahan mahasiswa di ruang kelas di stop dialihkan melalui pembelajaran online (daring).
Hampir semua manusia di belahan dunia melakukan aktivitas di rumah saja. Interaksi antar sesama manusia melebihi dari tiga orang tidak diperbolehkan, pemerintah diberbagai Negara melakukan gerakan yang sama yaitu jaga jarak (Social Distancing) bagi warganegaranya masing-masing.
Di indonesia ditengah mewabahnya covid 19 ini, terjadi pula hiruk pikuk politik nasional mulai dari pro-kontra UU Omnibus Law, pro-kontra terkait pembatalan ibadah haji bagi jamaah indonesia, pro-kontra larangan mudik lebaran, dan yang terbaru pro-kontra terkait kegaduhan rencana draft Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang menjadi polemik hampir seluruh rakyat indonesia tidak terkecuali rakyat biasa ikut serta mengkritisi rencana anggota dewan dalam menggolkan draft HIP ini.
Dalam kehidupan saat ini, semua hal pasti berubah. Di tengah kondisi situasi yang belum menentu dimana covid 19 masih bergentayangan menjadi momok hantu yang menakutkan bagi manusia penghuni bumi.
Hakikatnya disadari atau pun tidak, tak pernah ada hal yang tetap dan sama di muka bumi ini, perubahan akan terus terjadi. Oleh karena itu dalam hal berteologi jika dihubungkan dengan ideologi negara dapat ditarik suatu benang merah, yakni perubahan dalam cara pandang, hal ini sangat berkaitan dengan perubahan persepsi tentang hakikat manusia, juga dengan Sang Pencipta disertai pula pandangan bagaimana cara menjalankan teologi sesuai dengan ideologi negara.
Sehingga, perubahan-perubahan ini mengakibatkan perubahan pada dimensi hidup yang lebih material sifatnya, seperti ekonomi, politik dan budaya secara umum. Manusia pada umumnya adalah makhluk yang menginginkan untuk mengakui satu teologi tertentu, khususnya teologi yang dianggap benar dan sungguh realitanya datang dari Tuhan. Sehingga ketika segala perubahan yang terjadi dalam dirinya mempengaruhi cara pandang manusia tersebut mengenai dirinya sendiri.
Dengan sendirinya manusia merasakan dan menyadari adanya perubahan tersebut, sehingga manusia tidak mudah terperangkap maupun terjebak dalam ranah berpikir yang monoton atau stagnan yang menjadikan manusia sebagai sosok yang pasif terhadap perubahan, tetapi manusia diuji untuk dapat menjadi berkembang dan terus menjadi sosok yang aktif dalam perubahan tersebut.
Hal yang perlu dikaji sekaligus dianalisis disini adalah bahwa perbedaan dalam berteologi, mungkinkah berpengaruh terhadap cara berideologi terhadap negara. Bagaimana realita sesungguhnya ketika manusia berteologi bisa menyatu dan seiring dengan ideologi bernegara, tentunya dua hal ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk diperbincangkan dalam konteks berbangsa dan bernegara dalam bingkai ideologi Pancasila.
Karena dengan pemahaman semacam itu, ada harapan besar yaitu perubahan yang dirasakan dan dilakukan dapat memberi suatu cara berpikir yang baru dan cara pandang baru mengenai suatu proses bagaimana menjalankan kesinambungan dan sinkronisasi teologi dan ideologi negara dalam frame perbedaan teologi yang sudah menjadi kodrati manusia, khususnya di negara indonesia yang saat ini sedang mengalami fase di persimpangan jalan demokrasi antara maju menatap masa depan untuk menjadi sebuah negara maju atau malah sebaliknya berjalan mundur akibat masih gagal move on karena meributkan tafsiran isi kandungan sila-sila dalam Pancasila !
Dalam memahami Teologi, yakni pencarian manusia akan sesuatu yang transenden tersebut, sangat diperlukan komunikasi di dalamnya, karena dengan proses komunikasi tersebut manusia dapat menyatakan dirinya secara utuh dalam hal mencari sesuatu yang transenden atau biasa dikatakan “Tuhan”.
Sedangkan, jika dilihat lebih dalam mengenai komunikasi pada abad pertengahan, bahwa komunikasi di dalam negara kota saat itu menjadikan mitos sebagai sesuatu yang sakral, sehingga terjadi pembungkaman atas komunikasi tersebut, karena segala sesuatu telah mendapatkan penjelasannya. Dalam hal tersebutlah Teologi dijadikan sebagai ratu segala ilmu pengetahuan, komunikasi tidak berlangsung secara terbuka dan demokratis.
Berlatarkan kasus pro – kontra diatas sudah seharusnya bagi pemerintah Jokowi hadir untuk mengambil sikap elegan dalam mendamaikan hiruk pikuk perdebatan terkait HIP yang semakin hari semakin menggelinding bagaikan bola api panas yang lambat laun mulai merontokan kepercayaan publik terhadap segala kebijakan pemerintah terkhusus terhadap partai pendukung presiden.
Idealnya para petinggi dan tokoh bangsa ini kembali merajut kusut pertentangan dalam pemahaman serta penafsiran terkait ideologi pancasila yang sudah disepakati final, bukan malah sebaliknya menjadikan panggung perdebatan ini sebagai peluang mencari keuntungan kelompok tertentu dengan cara menyalahkan pihak lain apalagi sampai menyalahkan rakyat yang dianggap tidak paham akan rencana RUU HIP ini.
Dari dulu peran pejabat legislatif selalu diminta transparan dalam segala bentuk rencana terkait pengajuan undang-undang baru agar rakyat tidak menuntut dikemudian hari karena tidak adanya kesempatan dengar pendapat dalam penggodokan RUU apapun.
Namun, DPR sepertinya belum banyak belajar dari beberapa kasus RUU yang selalu menjadi dilema ketika sudah menuju meja paripurna sebelum ketok palu berbunyi.
Bagaimanapun juga rakyat adalah pemilik penuh negara ini pejabat hanyalah dipercaya sebagai refresentasi dari rakyat yang memilih demi untuk memikirkan kepentingan rakyat indonesia bukan kepentingan kelompok tertentu.
Rakyat begitu serius menyikapi draft RUU HIP karena hal ini terkait ideologi bangsa yang dianggap begitu sakral untuk ditafsiran kembali hanya untuk kepentingan kelompok atau golongan tertentu.
Belajar dari kegaduhan yang sering terjadi inilah seharusnya pemerintah hadir ditengah-tengah rakyat untuk memberikan solusi jitu mendamaikan tokoh-tokoh bangsa untuk merajut kembali kekusutan tafsiran yang bisa meruntuhkan kedaulatan negara.
Karena dengan kehadiran pemerintah ditengah hiruk pikuk perdebatan RUU HIP setidaknya kegaduhan politik bisa diselesaikan dengan damai, bukan malah sebaliknya pemerintah tetap ngotot menggolkan RUU HIP tersebut, hal itu bisa jadi pertanda buruk bagi pemerintah karena sudah tidak menganggap rakyat sebagai kepentingan utama dalam menjalankan pemerintahan.
Semoga pemerintah saat ini menyadari betul tugas dan kewajibannya terhadap seluruh rakyat indonesia dari sabang sampai merauke, demi kepentingan negara menuju Indonesia emas ditahun 2045 nanti. (*)
Oleh : Teddy Khumaedi