BOGOR – RADAR BOGOR, Biasanya dalam Idul Fitri di negeri tercinta ini, selalu identik dengan acara halal bihalal. Entah bagaimana asal muasalnya, tetapi tradisi itu telah berlangsung sejak lama.
Yang jelas, hari Idul Fitri adalah hari dimana kaum muslimin merayakan kegembiraannya pasca Ramadhan. Bahkan hari itu kaum muslimin diperbolehkan bersukaria sebagai ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala dengan melakukan kegaiatan apa saja yang menyenangkan hati sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Ibnu Manzhur dalam Lisan al-Arab membawakan perkataan Ibu al-A’rabiy: “Hari Raya dinamakan ‘Id, karena hari itu selalu berulang setiap tahun dengan kegembiraan yang selalu baru”.
Al-Allamah Ibnu Abidin rahimahullah [ibid. hlm.13-14] mengatakan, “Hari Raya disebut dengan sebutan ‘Id, karena di hari itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki berbagai macam kebaikan yang samua kebaikan itu kembali kepada para hamba-Nya.
Antara lain kebaikan tersebut adalah berbuka puasa setelah sebelumnya ada larangan makan, demikian pula dengan mengeluarkan zakat fitrah. Juga menyempurnakan ibadah haji (pada Idul Adha) dengan thawaf ziarah, makan daging kurban, dan lain-lain.
Sebenarnya apa sih itu halal bihalal? Secara bahasa, halal bihalal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal.
Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari. Masyarakat Arab di Makkah dan Madinah justru biasa mendengar para jamaah haji Indonesia –dengan keterbatasan kemampuan bahasa Arab mereka- bertanya ‘halal?’ saat bertransaksi di pasar-pasar dan pusat perbelanjaan.
Mereka menanyakan apakah penjual sepakat dengan tawaran harga yang mereka berikan, sehingga barang menjadi halal untuk mereka. Jika sepakat, penjual akan balik mengatakan “halal”.
Atau saat ada makanan atau minuman yang dihidangkan di tempat umum, para jamaah haji biasa dengan bertanya, “halal?” hal ini untuk memastikan bahwa makanan atau minuman tersebut gratis dan halal untuk mereka.
Kata majemuk ini tampaknya memang ‘made in Indonesia’. Kata halal bihalal justru diserap Bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat (auditorium, aula, dsb) oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia”.
Seorang penulis, Iwan Ridwan menyebutkan bahwa halal bihalal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan salat Idul Fitri.
Kadang-kadang, acara halal bihalal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.
Makna halal bihalal di sini bertujuan untuk menciptakan keharmonisan antar sesama manusia, terlebih sesama umat Islam di hari raya. Jadi walaupun merupakan kata kreasi tersendiri dari orang Indonesia, hakikat halal bihalal adalah ajaran Al-Quran.
Makna halal bihalal yaitu silaturahmi dan saling memaafkan. Seperti yang telah diketahui, halal bihalal adalah kegiatan silaturahmi dan saling memaafkan yang merupakan risalah islam, dan makna halal bihalal ini tidak terbatas hanya pada saat Idul Fitri saja.
Adapun tujuannya adalah sesuai dengan hadits Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wasallam berikut, “Barangsiapa yang telah menganiaya kepada orang lain baik dengan cara menghilangkan kehormatannya ataupun dengan sesuatu yang lain maka mintalah halalnya pada orang tersebut seketika itu, sebelum adanya dinar dan dirham tidak laku lagi (sebelum mati). Apabila belum meminta halal sudah mati, dan orang yang menganiaya tadi mempunyai amal sholeh maka diambilah amal sholehnya sebanding dengan penganiayaannya tadi. Dan apabila tidak punya amal sholeh maka amal jelek orang yang dianiaya akan diberikan pada orang yang menganiaya”. (HR. Al Bukhori)
Banyak hadits yang sangat mementingkan makna halal bihalal atau menjaga silaturahmi dan saling memaafkan, diantaranya adalah sabda Nabi Muhammad Sholallahu Alaihi Wasallam, “Siapa saja yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan pengaruhnya, maka sambunglah tali persaudaraan”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim), kemudian sabdanya, “Tidak ada dosa yang pelakunya lebih layak untuk disegerakan hukumannya di dunia dan di akhirat daripada berbuat zalim dan memutuskan tali persaudaraan”. (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi), dan sabdanya, “Siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, maka sambunglah tali silaturrahmi”. (HR. Al-Bukhari), juga sabda, “Tidak ada dua orang muslim yang bertemu kemudian bersalaman kecuali dosa keduanya diampuni oleh Allah Ta’ala sebelum mereka berpisah”. (HR. Tirmidzi)
Jika kita cermati dari makna hadits-hadits tersebut, perbuatan saling meminta halal dan maaf-memaafkan satu sama lain adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk akhlakul karimah. Jadi, yang perlu difahami bahwa saling meminta maaf itu sebaiknya dilakukan seketika kita tersalah atau melakukan kezholiman kepada orang lain, maka pada saat itu pula menyegerakan untuk meminta maaf.
Bukan malah menunggu lebaran tiba, baru minta maaf. Karena tidak ada jaminan usia kita sampai pada lebaran berikutnya. Namun juga tidak ada salahnya di hari raya pun saling meminta halalnya satu sama lain dalam momentum disaat kaum muslimin berkumpul.
Lantas bagaimana seharusnya melakukan halal bihalal di saat mewabahnya pandemi Covid-19 ini? Pemerintah dan ulama telah memberikan panduannya agar kita tidak memaksakan diri mudik dan berkunjung kepada orang tua, saudara, tetangga maupun orang lain atas nama halal bihalal.
Kementerian Agama pun telah merilis aturan pelaksanaan lebaran melalui Surat Edaran Nomor 6 Tahun 2020 tentang Panduan Ibadah Ramadhan dan Idul Fitri 1 Syawal 1441 Hijriyah di Tengah Pandemi Covid-19.
Halal bihalal bisa secara virtual, menggunakan pesan via aplikasi, video call dan lain sebagainya yang tidak perlu bertemu secara fisik untuk bertatap muka dan saling berjabat tangan.
Inti dari halal bihalal adalah saling membebaskan, mengikhlaskan, menghilangkan rasa iri, dengki dan dendam untuk memaafkan satu sama lain, sekalipun tidak bertemu secara fisik. Selamat Idul Firti. Taqobalallahu minna waminkum. Mohon maaf lahir batin. (*)
Oleh: Asep Saepudin
- Sekretaris Pusat Kajian Gender-Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Visi Nusantara
- Ketua Bidang Dakwah dan Kajian Keagamaan Pemuda Muhammadiyah Jawa Barat)