25 radar bogor

The Winner Will Be Human Immunity


Oleh
Suhendro Boroma

PANDEMI coronavirus menjangkiti seluruh dunia. Berbagai upaya medik dan non medik sudah dan sedang dilakukan, belum juga berhasil ‘menaklukkan’ virus yang berasal dari Wuhan, China ini.

Sementara berbagai pemodelan statistik tentang perkiraan durasi awal-puncak-akhir covid-19 yang dilakukan oleh berbagai lembaga dan perorangan, masih pada tataran ‘peramalan’.
Ada yang menyebut pandemi coronavirus semacam ‘siklus 100 tahunan’ yang melanda dunia. Tahun 1970 wabah Marseille, atau peyakit pes, menyebar dari Marseille, kota pelabuhan di Perancis. Wabah yang popular dengan nama The Great Flague of Marseille ini, menyebar ke seluruh Eropa, dan merengut sedikitnya 100,000 nyawa.

Pada 1820, pandemi kolera menyebar dari Jessore, dekat Calcutta India. Wabah ini disebut Kolera Asiatik, disebabkan oleh bakteri di Sungai Gangga, India. Dari India, kolera menyebar dan menyerang ke seluruh Asia hingga Mediterania. Setidaknya 100.000 orang mati oleh wabah yang berakhir pada 1824 itu.
Flu Spanyol menyebar dan menjangkiti seluruh dunia hingga kutub utara di tahun 1920.

Wabah akibat mutasi genetik virus influenza yang berubah menjadi virus sangat berbahaya itu menginfeksi lebih dari 500 juta orang di seantero dunia.

Desember 2019, coronavirus mulai mengjangkiti warga Wuhan, China. Virus yang disebut-sebut dari kelelawar dan ular di pasar Wuhan itu menyebar ke seluruh dunia sejak Januari 2020 hingga kini. Belum ada kepastian kapan coronavirus berakhir.

Terdapat 10 penyakit yang paling banyak merenggut nyawa manusia. Rangking pertama penyakit jantung iskemik. Hingga tahun 2012, penyakit ini telah mematikan 7,4 juta orang dengan tingkat kematian 13,2%. Urutan berikut: stroke, penyakit paru paru obstruktif kronik (chronic obstructive pulmonary disease/COPO), infeksi pernapasan bawah, kanker-trakea-bronkus, HIV/AIDS, dan diare. Tiga terakhir ditempati diabetes melitus (kencing manis), tuberculosis (TBC), dan malaria.
HIV/AIDS merupakan penyakit yang hingga kini belum bisa ‘ditaklukkan’ manusia.

Sejak ‘menyerang’ penduduk di Kongo pada 1976, penyakit yang menyerang immune system manusia itu hingga kini menjangkiti 36 juta orang di seluruh dunia. HIV/AIDS begitu menakutkan, belum ditemukan obat mujarab untuk menyembuhkannya, dan penyakit ini indentik dengan sanksi sosial paling tinggi: aib di tengah masyarakat.

Untuk “keluarga flu”, setidaknya sudah tercatat lima dengan serangan yang mematikan manusia. Flu Hong Kong, muncul dari Hong Kong pada 13 Juli 1968, menyebar ke Vietnam, Filipina, Australia, Eropa dan Amerika Serikat, dengan tingkat kematian 0,5%.

Flu Asia, muncul dari China pada 1956-1958. Menurut WHO, Flu Asia menewaskan setidaknya 2 juta warga dunia. Berikutnya Flu dengan penyebab influenza, mewabah pada 1918-1920, menginfeksi sekira 1/3 dari populasi dunia. Ada juga Flu Burung (H5N1), virus dari unggas yang pertama kali menular kepada manusia pada 1997, dengan tingkat mortalitas (kematian) 60% dari total pasien yang terinfeksi. Di tahun 1889-1990, mewabah Flu Rusia, menginfeksi sedikitnya 1 juta manusia.

Di masa silam, tahun 1364-1354, The Black Death menginfeksi 25 juta orang. Di abad ke-6 Masehi, tahun 541-542, Wabah Justiniah, menyebar dari Kekaisaran Bizantium dan pelabuhan-pelabuhan di kawasan Meditarenia, menginfeksi hampir separoh penduduk Eropa, merengut 25 juta jiwa. Masih di abad ke-2 Mesehi, tahun 165, Wabah Antonine menginfeksi penduduk di Asia Kecil, Mesir, Yunani, dan Italia, mematikan 5 juta orang.

Kisah-kisah yang diabadikan di kitab-kitab suci, juga menukilkan sejumlah wabah yang mematikan manusia. Paling mutakhir, virus ‘sekeluarga dengan corona’ sudah dua kali ‘menyambangi’ dunia. Tahun 2002, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) berjangkit dari kelelawar kepada manusia di Provinsi Guandong, China. Disusul MERS-CoV (Middle East Respiratory Syndrome Coronavirus), juga dari kelelawar ke unta dromedis, menginfeksi penduduk Arab Saudi pada 2012, lalu menyebar ke Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Utara.

Pendek kata, dunia dan umat manusia sejak zaman purba hingga kini sudah berulang kali dilanda wabah dan diserang pandemi aneka virus dan penyakit. Selama itu pula manusia telah menghasilkan banyak penemuan, nobel kedokteran, kisah kepahlawan, dan peradaban dalam melawan pandemi dan menyembuhkan aneka penyakit. Sejauh ini, manusia terus berkembang biak, telah mencapai 7,7 miliar pada 2019.

Adalah ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat manusia tak saja survive, tetapi terus berkembang biak melewati wabah, pademi, virus dan berbagai penyakit. Virus, penyakit yang kemudian menjadi pandemi mempunyai caranya sendiri berkembang baik, beradaptasi dan bermutasi dari dari masa ke masa. Sejak manusia belum mengenal globalisasi. Di era pra sejarah, di masa sejarah. Dari zaman batu, masyarakat pertanian, industri, informasi hingga era digital 4.0.

Di masa alat angkut masih berupa pedati, atau bahkan jalan kaki. Virus telah menyebar antar wilayah kerajaan dan teritori. Revolusi industri yang melahirkan sepeda motor, mobil, kereta api, kapal uap, seperti juga menjadi ‘moda’ bagi penyebaran virus dan penyakit. Di masa boarderless world, pesawat ukuran raksasa menghubungkan antar benua yang membuat pergerakan manusia, barang dan jasa demikian pesat, juga menjadi ‘tumpangan’ virus seketika menginfeksi penduduk seantero dunia.
Dari masa ke masa itu, manusia selalu mencari dan berihtiar. Entah dengan ramuan tumbuh-tumbuhan. Ada juga dibumbuhi mistik. Dari waktu ke waktu, manusia terus belajar, meneliti dan mengumpulkan data, informasi hingga menyimpulkan: ilmu pengetahuan terbukti menjadi solusi bagi upaya melumpuhkan penyakit. Maka, belum saat ini. Tak lama, seperti “pengalaman dan ihtiar” yang telah bertumpuk-tumpuk berabad-abad, manusia pada akhirnya akan menemukan siasat dan obat untuk mematikan coronavirus.

Lebih dari itu, tubuh manusia sungguh sangat lengkap dan sempurna. Tuhan sudah menciptakan “manusia sebaik-baik bentuk dan mahluk yang paling sempurna”. Untuk urusan penyakit, semua manusia sudah memiliki senjata dan pertahanan: imunitas alias kekebalan tubuh. Penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi, kurang lebih memperkuat ‘human immunity’ agar dapat melawan aneka virus dan penyembuhkan berbagai penyakit. Boleh dikata, itulah tugas manusia: menjaga, mempertahankan, dan memperkuat imunitas tubuh.

Tak bisa disangkal, pandemi coronavirus telah mengubah segalanya. Merusak dan memporak-poranda berbagai sendi kehidupan. Perang melululantakan banyak negeri. Wabah mematikan banyak manusia. Krisis ekonomi merusak sendi-sendi kemakmuran dan kesejahteraan. Becana alam dalam sekejap mengobrak-abrik peradaban.

Itu semua tidak terjadi di semua tempat. Perang dunia sekalipun, ada sisi dunia lain yang damai. Krisis ekonomi masih menyisahkan sisi cemerlang di tengah kesulitan. Becana alam sebesar tsunami yang melanda Aceh, Thailand hingga Sri Lanka dan India pada 24 Desember 2004, selamat sejahtera di tempat lain. Pandemi coronavirus seperti gabungan antara bencana alam, perang, krisis ekonomi, dan wabah sekaligus. Negara miskin hingga adidaya tak berdaya dibuatnya.

Terdapat dua cara negara-negara mengatasi coronavirus: lockdown dan tanpa lockdown. Indonesia tidak melakuan lockdown. Setidaknya tiga negara dapat dijadikan rujukan berhasil mengatasi coronavirus dengan cepat, terukur, dan tingkat kematian yang rendah tanpa lockdown. Yakni Korea Selatan (Korsel), Taiwan, dan Islandia.

Apa kiatnya? Korsel menerapkan prinsip ini: “temukan, isolasi, dan obati”. Sebagai negara yang pertama “menerima ekspor coronavirus dari China”, Korsel tidak melakukan lockdown seperti China. Penerbangan dari berbagai “zona merah” langsung ditutup, dan semua orang yang tiba dengan pesawat, terutama dari luar negeri ditracking: dipasang aplikasi yang bisa memantau pergerakan mereka di mana pun di Korsel.

Prinsip “temukan” dilakukan dengan melakukan tes massal kepada penduduk, khususnya di wilayah-wilayah zona merah. Setiap hari dilakukan tes (rapid tes dan PCR tes) terhadap lebih dari 20 ribu orang. Di kota-kota besar dibuka layanan drive-through tes coronavirus. Dengan cara itu, rasio penduduk yang melakukan tes coronavirus di Korsel mencapai 6.148 orang per 1 juta penduduk.

Pemeriksaan massal ceat dan akurat itu dilakukan untuk melacak siapa saja yang sudah terjangkit covid-19. Merka yang terjangkait langsung “diisolasi” supaya tak menjangkiti orang lain. Saat diisolisasi, mereka diobati hingga sembuh. Maka, meski tidak melakukan lockdown, Korsel berhasil “melewati pandemi coronavirus dalam kurun waktu empat bulan, dengan tingkat kematian yang rendah.

Islandia dan Taiwan kurang lebih melakukan yang sama dengan Korsel: pemeriksaan massal secara cepat dan akurat terhadap ribuan orang. Islandia melakukan tes corona terhadap 120.416 orang per 1 juta penduduk. Di Taiwan dilakukan tes corona terhadap 2.252 warga per 1 juta penduduk.

Sudah pasti ada banyak hal yang dilakukan selain tes massal secara cepat dan akurat: disiplin, ketersediaan dan kesiapan sarana dan prasarana kesehatan, ketegasan pemerintah, dan kemauan yang keras dari segenap komponen bangsa untuk segera mengakhiri wabah coronavirus.
Maka, sangat dianjurkan, Indonesia hendaknya melakukan tes massal secara cepat dan akurat kepada warganya. Untuk diketahui, hingga kini Indonesia masih termasuk kategori “negara rendah” yang melakukan tes corona. Per 10 April 2020, rasio yang melakukan tes corona baru 65 orang per 1 juta penduduk. Bandingkan dengan Korsel yang melakukan tes corona lebih dari 20 ribu orang per hari. Inilah “mitigasi kesehatan” yang semestinya dilakukan Indonesia jika tidak mau melakukan lockdown.

Pada aspek ekonomi dan keuangan, pandemi coronavirus memunculkan satu hal paling ditakuti: ketidakpastian (uncertainty). Berapa lama dan berapa dalam dampak coronavirus terhadap sektor ekonomi dan keuangan, belum ada kepastian. Periodesasi pemerintah yang terdiri dari masa tanggap darurat (Maret-Mei), recovery (Juni-Desember), dan normalisasi (Januari-Juni 2021) belum cukup memadai untuk membuat dunia usaha dan pelaku ekonomi resilience (tangguh) di masa pandemi coronavirus.

Sangat baik dilakukan pendataan yang spesifik dan detail bagi semua pelaku usaha yang terkenak dampak covid-19. Pendataan yang dimaksud tak hanya mencakup “by name by anddres” UMKM dan menengah atas, tetapi kategori tingkat kedalaman dampak yang dialami. Misalnya menghasilkan kategori “bertahan”, “sulit bertahan”, dan “terancam bangkrut”. Tanpa pemetaan dan pendataan seperti ini, sulit memastikan ketepatan tindakan dan bantuan pemerintah efektif dalam menyelamatkan dunia usaha.

Kebanyakan pelaku usaha melakukan mitigasi secara mandiri. Mengacu pada banyak pemodelan statistik, wabah coronavirus di Indonesia diperkirakan berakhir Juni-Juli. Ada juga yang memprediksi berakhir di Agustus, bahkan hingga September. Perkiraan-perkiraan ini masih diberi catatan: setiap daerah bisa berbeda-beda ‘awal-puncak-akhirnya”. Karena itu, mitigasi kondisi terburuk dampak covid-19 terhadap dunia usaha berlangsung Maret-Desember 2020.

Dengan durasi itu, dapat dikelola kemampuan dan daya tahan sampai ekonomi menemukan titik keseimbangan baru (new equilibrium). Sudah pasti lebih baik wabah coronavirus cepat berakhir. Tetapi roda dan mesin ekonomi memerlukan waktu untuk kembali berjalan normal. Maka, tetap saja Desember titik yang “paling aman” untuk sedapatnya dikelola dalam menjaga keberlangsungan usaha masing-masing.

Mitigasi terhadap sektor ekonomi dapat dijadikan “paduan” dampak sosial berantai akibat ekonomi mati suri di masa pandemi covid-19. Pengangguran baru, kemiskinan dan berbagai ikutannya semestinya dihitung dan ditelaah secara cepat dan tepat. Dari sinilah, kebijakan fiskal (lewat APBN/APBD dan relaksasi pajak, bea cukai dan retribusi daerah) maupun moneter (lewat BI/OJK berupa restrukturisasi kredit dan kebijakan lainnya) diarahkan agar tepat sasaran dan efektif mengatasi dampak covid-19.

Sasaran kegiatan Jaring Pengaman Sosial (JPS) lewat berbagai instansi pemerintah pusat hingga desa, misalnya, harus direformulasi sesuai kondisi di masa wabah coronavirus ini. Koordinasi yang lemah dan tumpang tindih antar instansi pemerintah dalam menyalurkan bantuan akan menambah deretan masalah yang dihadapi di masa sulit. Dana Rp110 triliun yang diperuntukkan pemerintah untuk JPS, potensial memunculkan masalah baru, ketimbang menjadi solusi jitu. Padahal, JPS di masa seperti ini sangat membantu terutama masyarakat lapisan bawah, dan bermanfaat untuk tetap mempertahankan daya beli.

Ada baiknya, cakupan JPS dan berbagai bantuan kepada rakyat di masa wabah coronavirus ini tidak habis untuk sembako dan uang tunai. Perlu dipertimbangkan “materi bantuan” yang membuat rakyat bisa bertahan hidup, sekaligus meningkatkan imunitas tubuh. Jahe, kulit jeruk, madu, tanaman-tanaman tradisional lainnya yang sudah terbukti dapat meningkatkan daya tahan tubuh dan mudah didapatkan di lingkungan kita, semestinya menjadi bagian dari upaya ini. Karena daya tahan tubuh yang kuat menjadi “pertahanan yang sejati” untuk mematikan serangan covid-19.

Berbagai bantuan pemerintah pusat hingga desa sebaiknya memasukkan “penguatan daya tahan butuh” dalam paket program dan kegiatannya. Tanpa daya tahan tubuh yang kuat, berbagai macam paket bantuan yang bernilai ratusan triliun itu bisa tidak efektif melawan pandemi coronavirus. Karena imunitas itulah yang pada akhirnya bisa menghentikan pandemi ini, sekaligus, jika tepat sasaran, bisa jadi penanggulangan wabah coronavirus lebih cepat dan lebih hemat.

Ingat, imunitas tubuh adalah pertahanan paling kokoh dan terbukti bisa melawan aneka virus sepanjang zaman. Tugas kita, entah negara atau orang per orang, menjaga agar imunitas tetap kuat, tangguh dan garang mematikan berbagai virus yang masuk dalam tubuh. Jika pandemi coronavirus ini “semacam perang”, saya yakin The Winner Will be Human Immunity.***