25 radar bogor

Desa Menggugat

Yusfitriadi
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Yusfitriadi
Yusfitriadi
Direktur DEEP, Yusfitriadi

BOGOR – RADAR BOGOR, Kepala Desa dan Kelurahan beserta aparaturnya menjadi perwakilah pemerintah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Begitupun dalam upaya penanganan Covid-19 di tengah masyarakat, Aparatur Desa dan Kelurahan menjadi Gugus Tugas yang paling dekat dengan masyarakat. Sehingga memahami betul apapun yang terjadi pada masyarakat di tingkat bawah.

Termasuk dalam merespon berbagai macam bantuan sosial yang sudah disampaikan oleh pemerintah. Ketidak jelasan kordinasi, ketiadaan data yang akurat dan kegagapan dalam menghadapi Covid-19 ini mejadi “kefrustasian” kepala desa dalam menghadapi warga.

Hal tersebut lebih pada banyaknya warga desa yang complain atas penyaluran bantuan social pemerintah kepada warga. Baik terkait dengan ketepatan sasaran, jumlah bantuan yang sangat tidak sesuai dengan jumlah warga yang membutuhkan ataupun dengan intruksi dengan menggunakan data yang berubah-rubah.

Sebagai bentuk kefrustasian, bisa dilihat dari beberapa Kepala Desa dan aparaturnya sudah banyak yang secara terbuka “menggugat” pemerintah, baik itu Presiden, Gubernur maupun Bupati.

Protes dan keluh kesah Kepala Desa Jalancagak Kabupaten Subang Indra Zainal Alim. Bersama aparaturnya dia memprotest Presiden Joko Widodo, Mentri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDT) dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Mere memprotes ketidak jelasan data dan implementasi bantuan dari pemerintah yang terkesan hanya menebar janji. Begitupun di Kabupaten Bogor, melalui Asosiasi Perangkat Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Kabupaten Bogor.

Pada tanggal 28 April 2020 seluruh Kepala Desa “mengruduk” Kantor Bupati Boor. Mereka memprotes atas kekacauan Bantua Soial. Selain itu juga mereka meminta kepada pemerintah untuk tidak mudah berjanji kepada masyarakat jika tidak bisa diimplementasikan.

Bukan tidak mungkin gugatan akan menyusul dari desa-desa yang lain, jika sikap pemerintah tidak berubah dalam merespon penanganan Covid-19 ini.

Koordinasi Data yang Lemah

Setiap hari di semua media electonik kita diberikan informasi terkait perkembangan korban Covid-19, baik itu jumlah masyarakat yang terinveksi, masyarakat yang sembuh dan masyarakat yang meninggal diakibatkan oleh inveksi Covid-19.

Tidak hanya itu, bahkan beberapa histori penularan covid-19 juga beberapa kasus diinformasikan, selain himbauan-himbauan untuk masyarakat dalam ikut serta memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Data tersebut oleh banyak pihak diduga disembunyikan oleh pemerintah, sehingga pemerintah dari awal tidak terbuka dengan jumlah korban yang positif terinveksi Covid-19.

Walau sampai hari ini pun data-data tersebut masing banyak yang meragukan validitasnya. Progress perkembangan penyebaran Covid-19 juga dikuti oleh semua propinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia.

Respon masyarakat pun sangat beragam terhadap angka-angka tersebut, dari mulai yang panic, bingung, optimis, skeptis dan lain-lain. Apapun respon masyarakat, yang pasti angka-angka tersebut sudah mampu menghipnotis dan menjebak perhatian masyarakat.

Sehingga terkesan hanya angka-angkat tersebut yang layak diperhatikan dan menguras perhatian masyarakat ditengah pandemic Covid-19 ini.

Padahal ada banyak angka-angka yang lebih menarik dabandingkan hanya sekedar angka informatif. Sampai hari ini, tidak pernah ada pihak manapun yang bertanggungjawab atas angkat-angka jumlah masyarakat yang terdampak Covid-19 sehingga terancam hak-hak dasar dalam kehidupannya.

Berapa jumlah karyawan yang dirumahkan tanpa diberikan gaji dan pesangon, berapa karyawan pasar tanah abang dan pasar-pasar lainnya yang tidak bekerja, berapa pedagang asongan dan kaki lima yang biasanya bulan Ramadhan ini panen, namun saat ini harus menutup lapak-lapaknya, berapa tukang ojeg konvensional dan ojeg online yang kehilangan mata pencahariannya.

Belum lagi, pada sektor-sektor unit usaha. Kita tidak pernah tahu berapa buruh kontruksi bangunan proyek yang diberhentikan, karywan bank, lembaga keuangan micro yang siap-siap gulung tikar menjelang iedul fithri ini.

Faktanya sampai saat ini, angka-angka tersebut masih tersembunyi. Pertanyaanya siapa yang mempunyai kewenangan bertugas mendata kondisi masyarakat di atas. Ketika data-tersebut belum clear, maka selama itu juga pendistribusian bantuan social hanya akan menimbulkan kegaduhan di desa.

Kebijakan Pemerintah yang tidak Mempertimbangkan Kondisi Sosial

Dilansir oleh situs resmi Sekretariat Kabinet Indonesia yang diposting tanggal 9 April 2020. Dalam situs tersebut disebutkan sebagai bentuk perhatian pemerintah yang sangat besar terhadap percepatan penanganan Covid-19, pemerintah memberikan 4 (empat) bentuk batuan yanbg sudah disampaikan sebelumnya dan tambahan 6 bantuan.

Dalam bantuan tersebut jelas disebutkan angkat-angka nominal rupiah yang langsung ditangkap oleh masyarakat sejak tanggal 31 Maret 2020. Seperti Bantuan berbentuk kartu sembako, yang akan diberikan kepada 20 juta penerima, masing-masing Rp. 200.000,-/bulan. Dalam bentuk Kartu Par Kerja untuk 5,6 juta orang, setiap orang akan mendapatkan Rp. 600.000,-/bulan. Untuk masyarakat yang berdomisi di wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang dan Bekasi akan mendapatkan bantuan social sembako, sebesar Rp. 600.000,-/tiga bulan.

Angka-angka tersebut begitu dinyatakan oleh Presiden Republik Indonesia, saat itu juga langsung direspon oleh masyarakat. masyarakat tidak pernah faham angka-angka itu untuk siapa, rakyat juga tidak faham negara ini masih mempunyai masalah besar dengan data, rakyat juga tidak akan pernah memahami pemerintah mempunyai dana berapa untuk membantu masyarakat. yang ada dipikiran masyarakat adalah, Presiden Republik Indonesia akang membantu rakyat Indonesia untuk mengurangi beban yang diakibatkan oleh wabah Covid-19.

Tentu hal ini menjadi kabar baik bagi masyarakat Indonesia, namun setelah lama menunggu bantuan-bantuan tersebut tidak juga datang dan datangpun jauh dari harapan.

Di situlah kemudian kita memahami bahwa angka-angka tersebut adalah jebakan. Banyak Kepala Desa yang dikejar-kejar oleh warga, karena dianggap tidak mampu mengelola bantuan-bantuan tersebut.

Bahkan beredar di media social beberapa Kepala Desa “menggugat” Presiden. Semakin sadar atas jebakan-jebakan tersebut ketika menyaksikan 2 (dua) staf khusus presiden dari kalangan milenial memanfaatkan angka-angka tersebut untuk “berbisnis” di istana negara

Transparansi dan Akuntabilitas Rekayasa Anggaran
Seperti yang disampaikan oleh Mentri Keuangan Sri Mulyani bahwa terdapat anggaran mencapai 27 Triliyun yang dapat direlokasikan untuk penanganan Covid-19.

Diikuti dari beberapa media, hal tersebut dinyatakan Sri Mulyani dalam Konfrensi Pers APBN Kita melalui Streaming Video tanggal 18 Maret 2020. Hampir bersamaan dengan pernyataan Mentri Keuangan tersebut, Mentri Dalam Negeri mengeluarkan Surat Intrukni Mentri Dalam Negeri pada Tanggal 2 April 2020 tentang Refocusin Anggaran Seluruh Pemerintah Daerah di Indonesia. Seluruh Kebijakan Keuangan Negara tersebur dipayungi oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang atau Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19) telah dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 31 Maret 2020.

Peraturan inilah yang dipersiapkan pemerintah untuk melindungi para Aparatur Sipil dan Negara ketika terdapat “malpraktek” dalam mengelola rekayasa anggaran-anggaran ini, baik ditingkat pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.

Jebakannya adalah kemana anggaran hasil rekayasa tersebut, dimana dipergunakannya dan bagaimana bentuk transparasi serta akuntabilitasnya. Kebijakan Pembatasan Sosisla Bersakala Besar (PSBB) yang diterapkan diberbagai daerah yang menggunakan anggaran hasil rekayasa tersebut, sebagian besar “gagal”, sehingga banyak daerah mengajukan PSBB tahap kedua, tentu dengan menggunakan anggaran yang sama. Termasuk pendataan masyarakat yang terdampat Covid-19 yang merupakan tugas Gugus Tugas pun tidak berjalan.

Padahal kinerja Gugus Tugas tersebut juga atas biaya hasil rekaya-rekayasa itu. Sampai hari ini masyarakat tidak mendapatkan informasi yang terbuka terkait penggunaan semua anggaran hasil rekayasa tersebut

Ketidakpastian Jaminan Hak Dasar Hidup Masyarakat
Ditengah gelimangnya angka-angka seperti disampaikan di atas, masyarakat yang pada akhirnya menjadi korban atas angka-angka tersebut.

Bagaimana tidak masyarakat diminta untuk tinggal di rumah, pencaharian semua dibatasi bahkan banyak yang dihentikan sementara tidak ada jaminan atas hak-hak dasar hidup masyarakat.

Peneliti Ekonomi Indef Bhima Yudisthira dalam detikfinance mengatakan, Di tengah virus Corona yang makin luas penyebarannya di Indonesia, banyak masyarakat mulai mengeluh kesulitan ekonominya. Terlebih lagi bagi para pekerja informal yang kehilangan sumber pendapatan, pekerja formal pun dibayangi PHK karena melemahnya dunia bisnis.

Pada akhirnya masyarakat akan selalu dihantui berbagai permasalahan social, entah itu kekurangan pangan, lemahnya daya beli masyarakat, kegaduhan social yang mengarah kepada kerusuhan dan masalah-masalah social lainnya, Seperti yang disampaikan oleh Achmad Hafizs Tohir Anggota Komisi XI DPR-RI dalam rapat virtual dengan Otoritas Jasa Keungan (OJK) pada tanggal 7 April 2020,

“Tidak mungkin tertutup masalah sosial jika tidak segera diselesaikan masalah ekonominya. Jangan sampai kita selamat dari [penyebaran] COVID-19 tapi mati karena kerusuhan (sebagai akibat dari masalah sosial)” seperti dikutip dari ekonomi.bisnis.com. (*)

Oleh : Yusfitriadi
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia